Pages

Selasa, 23 Maret 2010

Janjiku

Aku berjanji sampai kapanpun, pendidikan tetap menjadi prioritas utamaku, pondasi kuatku untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Meski karirku kini menanjak, akan kuusahakan membagi waktuku. Itu janjiku

Malam ini begitu dingin dan sepi tak seperti malam-malam sebelumnya. Bintang seakan sembunyi tak ingin keluar menghiasi awan-awan yang gelap. Angin berhembus dingin, berbeda dari hari sebelumnya. Aku miko yang masih berstatus pelajar di salah satu sekolah yang ada dikotaku. Malam ini aku terus berdoa dan berdoa semoga Allah memberikan perlindungannya untuk ayahku yang sedang kritis didalam rumah sakit ini. Malam ini aku merasakan firasat yan tak biasanya, firasat aneh yang terus menerus membuat perasaanku kacau balau. Aku bersujud memohon ampun atas kesalahan yang dilakukkan oleh ayahku, aku memohon semoga Allah memberikan jawaban terbaik dari setiap untaian doa yang aku panjatkan. Seminggu lamanya ayahku tertidur pulas di rumah sakit ini, tertidur dengan pulasnya, bibirnya yang kecil menyunggingnya senyuman arti kedamaian. Dialah ayahku, pemimpin rumah tangga dikeluargaku. Teringat masa kecilku yang indah, ketika pertama kali aku dilahirkan, ayah dan ibu sangat senang menyambutku sebagai anak pertama dari keluarga kecil bahagia ini. Ayah adalah sosok pemimpin yang sangat luar biasa dimataku. Kutatap langit-langit yang kosong sambil kuhirup nafas panjang. Kubelai lembut rambut adikku yang sedang tertidur pulas disampingku. Dia andi, umurnya masih enam tahun, dialah anugrah Yang diberikan Allah yang selalu membuat hari-hari keluarga kami dihinggapi tawa, senyuman juga kebangaan karena andi merupakan anak yang cerdas. Ayah mengidap penyakit kanker otak, namun berkat kehadiran andi, hari-hari ayah sering dilalui dengan kebahagian dengan segala tingkah lucu yang dimainkan oleh adikku ini. Sungguh Anugrah yang sangat indah yang diberikan Allah untuk keluarga kecil kami ini. Kupeluk erat adikku yang sedang tertidur pula situ, seraya mencium keningnya sambil terus mengucapkan Asma Allah. Aku beranjak bangun dari sujudku dan kembali melihat ibuku yang dari tadi masih terus menanggis melihat ayah terkulai lemas di ruang yang aneh itu. Kugendong andi yang masih tertidur. Ibu ada didalam, sedangkan Om dan tanteku dengan setia menunggu diluar ruangan, mengantisipasi jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Aku menghampiri Tante lina yang sudah dua malam menunggu dengan setia di rumah sakit ini. “sini andi biar tante aja yang gendong, kamu masuk kedalam dulu tenangkan ibumu” ujar tante. Aku tersenyum seraya berkata “ Aku gak baik-baik aja tante, biar andi aku yang gendong, tante istirahat dulu. Biar nanti kalau ada apa-apa aku hubungi tante”. Jawabku. Tante tersenyum seraya mengelus rambutku. Aku masuk kedalam dan melihat ibu yang terus menerus membisikkan asma Allah ketelinga ayah. Ketika aku masuk dan berada disampingnya, ibu langsung memelukku dan menangis sejadi-jadinya, membuat hatiku hancur dan rasanya aku ingin meledak menanggis didepannya juga, tapi aku sudah berjanji tidak akan menanggis didepannya, untuk meyakinkan bahwa ayah akan baik-baik saja. Kutenangkan ibuku yang semakin kacau, kuserahkan andi supaya ibu bisa leluasa mengendong andi anak kebanggannya itu. Aku menghubungi tante lina, agar ibu dibawa untuk istirahat sebentar. Aku duduk disamping ayah yang sedang tertidur pulas. Kupegang tanganya yang dingin, diam membatu. Kulihat wajahnya yang damai, senyumannya yang manis, serta rambutnya yang putih. Aah ayah kau memang inspirasiku. Aku bangga menjadi anakmu, bangga menjadi bagian dari keluarga kecil ini. Aku mulai berbicara dengan ayahku, meski ayah tak menjawab, tapi aku yakin ayah mendengar celotehku. “kau tahu ayah, minggu lalu aku lolos menjadi model majalah sampul, suatu prestasi yang sangat membuatku bangga, itu juga tak lepas berkat didikanmu ayah” aku bercerita tentang hari-hariku yang sangat mengasyikan disekolah. Dulu aku sering bercerita ketika ayah masih sehat, sungguh indah hidup ini. Adzan berkumandang, waktu isya telah masuk, setelah berwudhu aku bergumam kepada ayah “ Ayah mari kita sholat bersama, semoga ayah selalu dalam LindungNya” aku melaksanakan sholat disamping ayah. Sholat dengan perasaan hancur dan gundah. Firasat ini terus menari-nari dipikiranku. Memainkan perannya dalam pikiranku. Diakhir sujudku, aku mendengar ayah berbicara. Kini perasaanku semakin campur aduk kuselesaikan sholatku dan Allah Hu Akbar ayah kini sadar, sadar dari tidur panjangnya yang membuainya selama seminggu. Aku langsung berada disisinya, menanggis bahagia, karena Allah mengabulkan doaku. “Miko, apa yang kau lakukan sayang? Sini duduk disamping ayah” itulah kalimat pertama yang meluncur ketika ayahku sadar. Aku langsung memeluknya sambil menanggis mengucapkan ribuan syukur atas kasih sayang Allah yang telah mengabulkan doaku. Aku menelpon tante memberitaj=hu bahwa ayah telah sadar, ibu langsung naik dan memeluk ayah ketika tiba didalam ruangan. Dokter memeriksa keadaan ayah, kelihatannya ia bingung. Tapi sejurus kemudian ia mengatakan bahwa kondisi ayahku baik. Ibu sangat senang. Aku menangkap wajah sang dokter tadi. Maka aku mengekornya ketika keluar dari ruangan ayah. “Dok.. Dok..” aku memanggilnya. Ia berhenti lalu menyapaku. Aku bertanya perihal kesehatan ayahku tadi. Ia mengajakku ke dalam ruanganya. Ia menjelaskan sesuatu kepadaku. “ Saya benar-benar bingung, sebenarnya kondisi ayah miko sangat sudah tak mungkin lagi untuk sadar, pembengkakan hatinya sudah membuat seluruh organya lumpuh, makanya tadi saya sedikit bingung” jelasnya. Aku bergumam didalam hati “Ya Allah apa ini pertanda, bahwa ayahku akan segera pergi? Ya Allah semoga firasat ini adalah firasatku yang salah”. Sang dokter kembali berbicara kepadaku “Miko lebih baik sekarang kamu kembali ke ruangan ayahmu, saya takut ini adalah pertanda Yang Maha Kuasa untuk hal … ah sudahlah, lebih baik kamu segera kembali melihatnya” aku menuruti anjuranya. Aku melangkah dengan perasaan campur aduk, perasaan takut, perasaan yang benar-benar membuat hatiku gundah. Ketika tiba didalam, kulihat ayah sedang bermain dengan andi, ia tersenyum bahagia, tante dan omku juga tersenyum bahagia melihat tingkah mereka. aku lebih banyak diam, pikiranku terfokus pada satu titik penjelasan dokter tadi. Jam menujukkan pukul satu dini hari. Satu persatu mulai tertidur didalam ruangan ini. Tinggal aku, ibu dan tante saja. Tiba-tiba ayah bibir ayah berbicara dengan kata-kata yang hampir membuat jangtungku copot. “Ah aku lelah sekali, aku harus bersiap sekarang, sepertinya aku sudah dijemput” Jelasnya. Kami semua yang mendengar itu merinding bukan kepalang, ibuku yang spontan memeluk ayah menaggis. Sepertinya firasatku mendekati tanda-tanda kebenaran. ayah beranjak bangun untuk berwudhu, maka aku dan om aldi memabantunya. Tante lina mencoba menenangkan ibuku yang sepertinya sudah mulai yakin bahwa kata-kata ayah tadi pertanda sebentar lagi ia akan berangkat menghadap Sang Maha Kuasa. Selesai berwudhu ayah melakukkan sholat sunat, dan inilah puncak dari semuanya. Kaki ayah mulai dingin, dingin sekali aku sampai ngeri memegangnya. Ayah berbicara dengan kami semua.” Sudah Cukup jangan tangisi ayah terus menerus ibu, lihat miko ia tak menanggis sedikitpun” ibu terus menerus menganggis tanpa menghiraukan peringatan ayah. “lisa tolong jaga miko dan andi, berikan ia kebebasan dalam memilih cita-citanya, jangan biarkan mereka terbelenggu menjadi generasi yang tak berkembang, aldi jangan lupa tolong selesaikan surat-menyurat yang kita selesaikan bulan lalu, jatuhkan semuanya ke tangan miko, kini dialah penerus generasiku” tante lisa dan om aldi menggangguk setuju. Air mataku tak bisa ditahan, kini aku ikut menanggis, melihat detik-detik ayah dejemput oleh sang malaikat maut. Satu persatu kami memeluk ayah, ibu memeluk ayahku sambil terus menaggis terisak, tante lisa, dan om aldi. Kini giliranku kupeluk ayah yang tubuhnya semakin dingin membeku. “ingat miko rajinlah belajar, jangan sia-siakan umurmu yang muda ini” bisiknya, nafasnya kini mulai satu-satu. Aku memeluknya erat sambil mebalas bisikannya. “Aku berjanji sampai kapanpun, pendidikan tetap menjadi prioritas utamaku, pondasi kuatku untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Meski karirku kini menanjak, akan kuusahakan membagi waktuku. Itu janjiku”. Gumamku, Ayah tersenyum bahagia. Aku mundur dan melangkah kebelakang menjauh dari ayah. Ibu membisikkan asma Allah ditelinganya. Dan malam itu aku melihat langsung ayah pergi meninggalkan kami semua. Begitu cepat ayah meninggalkan kami semua. Aku menaggis dipelukan om aldi. Ibu memeluk ayah dengan erat sambil terus mengumandangkan kalimat-kalimat Allah. Tante lisa mencoba menenangkan ibuku yang kalut. Firasatku ternyata benar, kini ayah telah kembali ke sang pencipta, sang Maha Kuasa, Sang Maha Pencipta. Aku berdoa semoga ayah selalu dalam PangkuanNya. Pagi Ini menjadi pagi yang sangat dingin. Kini tubuh ayah terdiam kaku didalam ruangan ini. Sesosok pemimpin tangguh keluarga kami telah pergi meninggalkan kami semua, mengukir kenangan manis, mengajarkan makna kehidupan. Semoga ayah senang tiasa berada dialam sana. Kalimat terakhir aku ucapkan, Aku sayang Ayah..

0 comments:

Posting Komentar

don't talk empty talk! that's my role!